Siang itu, suasana Coffee Club, Plaza Senayan, Jakarta,
sedikit ramai. Terdengar suara orang saling bercengkerama dari kursi-kursi
pengunjung. Tempatnya cukup nyaman dan elegan. Di situ Tempo menemui Joko Suroso, seorang dedengkot
industri sanitasi air, pertengahan pekan lalu.
Penampilan Joko selayaknya eksekutif. Ia berkemeja putih
panjang dengan dasi membelah dadanya. Parasnya terawat dan didukung rambut
jambulnya yang klimis. Joko mengaku gemar memperindah tubuhnya. Selain itu, dia
rajin olahraga beban dan golf pada waktu senggang.
Sekarang adalah puncak perjalanan hidupnya. Panah nasib
membawanya bekerja di balik kaca mobil Mercedes Benz, lengkap dengan sopirnya.
Joko membawahi tiga perusahaan sekaligus. Salah satunya sebagai direktur utama
perusahaan konsultan PT Inowa Prima Consult, yang berpusat di Bandung.
Sebetulnya, cita-cita dia adalah menjadi diplomat. Joko
ingin sekali mengembara ke luar negeri. Sayang, waktu kuliah di Universitas
Padjadjaran, Bandung, yang diambil adalah jurusan penerangan, bukan hubungan
internasional. "Masuknya juga lewat PMDK, yang penting asal kuliah,"
ujarnya sambil menahan tawa.
Uniknya, gaya hidup dia kuliah dengan sekarang sangat
berbanding terbalik. Waktu kuliah, Joko kerap memakai baju gamis dan bercelana
panjang di atas tumit. Ke mana-mana pria peranakan Sunda ini suka menenteng
Al-Quran. Dia cenderung eksklusif dan malas bergaul selain dengan
"kaumnya".
Masa itu terjadi hampir tiga tahun, yang sedikit-banyak mempengaruhi
pemikirannya. Beruntung, dia tercerahkan setelah membaca buku. Namun Joko tetap menjadikan cerita itu sebagai modal hidupnya. "Setelah
pencarian itu, saya malah jadi tahu, yang penting akhlak bagus," katanya
dengan logat Sunda.
Setelah mengantongi gelar sarjana, Joko mulai bertualang.
Dia bekerja sebentar di perusahaan swasta, lalu pernah mengajar di sekolah
sekretaris--hingga "nebeng"
bapaknya bergelut di bidang farmasi. Pada 1992 akhir, dia mendapat pekerjaan di
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di situ, Joko suka membaca buku sumber daya
manusia dan manajemen.
Pada 1998, Joko keluar dari PDAM, dan menjadi Direktur
Utama PT Dream Sukses Airindo di Ambon. Jabatan itu didapat dari koneksi
rekannya orang Belanda, yang sedang membantu masalah PDAM di Indonesia.
"Karena di sana butuh direktur, saya direkrut sama dia," ujarnya.
Di sana, karier Joko tidak begitu lama. Pasca-kerusuhan
Ambon, dia balik lagi ke Kota Kembang. Lalu dia mendirikan perusahan konsultan,
PT Inowa Prima Consult. Inowa sendiri, dijelaskan oleh Joko, adalah singkatan
dari Indonesian Water. Perusahaan ini dimulai dengan dua anak buah, dan
sekarang sudah mempunyai seratusan karyawan.
Perusahaannya berkomitmen tidak cuma maju dan memberi
profit pada stake holders, tapi
juga berkontribusi positif bagi masyarakat. Sebagai konsultan--salah satunya
tentang sanitasi air--Joko melihat bahwa terwujudnya pemenuhan air bersih di
masyarakat adalah amal jariah perusahaannya.
Inowa pernah memfasilitasi ketersediaan air bersih
pasca-tsunami di Aceh. Waktu itu, Joko memaparkan, ada dana dari pemerintah
Belanda sebesar 10 juta euro. Inowa menyediakan alat yang bisa mengambil air
dari sungai dan langsung bisa diminum.
Sebenarnya ada belasan perusahaan lain yang dipimpin pria
42 tahun ini. Perusahaan-perusahaan lokal itu memegang proyek kecil yang
ditanganinya.
Kini Joko tiada henti menimang kesuksesannya. Kolektor jam
tangan Rolex ini pun tetap memelihara cita-citanya sebagai diplomat. Paling
tidak, dia sibuk bolak-balik ke Belanda untuk urusan bisnis.[]
SUMBER
https://gaya.tempo.co/read/226322/act-necis-think-gamis/full&Paging=Otomatis
(Rabu, 17 Februari 2010 07:56 WIB)